Asnath Debriana Samanui, guru bahasa Mandarin pada empat sekolahdi Jakarta (Foto: Dok/SP) |
Jayapura, Nawor Lano - Asnath Debriana Samanui, salah satu putri Papua yang memiliki prestasi yang sangat baik. Karena potensi dan prestasi yang dimilikinya itu, Asnath kini mengajar bahasa Mandarin pada empat sekolah di Jakarta Pusat. Baru-baru ini redaksi suarapapua.com wawancara dengannya.
Berikut ini adalah hasil wawancara suarapapua.com dengan Asnath.
Suara Papua: Perkenalkan diri Anda dan ceritakan sedikit tentang latar belakang pendidikan Anda?
Asnath: Nama saya Asnath Debrina Samanui. Saya biasa disapa Asnath oleh teman. Saya lahir pada tanggal 15 Juli 1993 di Kampung Urfas, kabupaten Waropen, Papua. Saya anak ke-4 dari 9 bersaudara dari pasangan Bpk. Eduard Samanui dan ibu Eselina Imbiri. Saya memulai pendidikan dasar di SD Negeri 03 Kotalama, Nabire pada Tahun 1998 dan menamatkannya tahun 2004. Kemudian saya melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 04 Nabire dan tamat pada tahun 2007. Lalu saya melanjutkan SMA di SMA Kristen Anak Panah Nabire pada tahun 2007 dan selesai pada tahun 2010. Setelah itu saya lanjutkan perguruan tinggi di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Saat kuliah saya menekuni jurusan Bahasa Mandarin. Dan saya selesaikan kuliah saya pada tahun 2014.
Suara Papua: Mengapa lebih memilih bahasa Mandarin daripada bahasa Indonesia, Inggris, ataupun bahasa lain?
Asnath: Awalnya saya memilih bahasa Inggris, tetapi sampai di Jakarta saya baca di website kampus UKI lagi dan ternyata ada bahasa asing lainnya selain bahasa Inggris yaitu Bahasa Mandarin. Sehingga pada waktu itu saya pilih bahasa Mandarin. Meskipun banyak orang menganggap bahasa Mandarin itu bahasa yang sangat sulit untuk dipelajari dan dipahami karena mempunyai beberapa karakter yaitu penulisan, cara berbicara, nada dan arti yang lumayan susah. Tetapi saya tetap mau maju dan bertahan dengan keputusan saya yaitu menekuni bahasa Mandarin.
Karena saya mengetahui bahwa salah satu bahasa internasional adalah bahasa Mandarin dan di kalangan orang Papua sangat sedikit yang mempelajari bahasa Mandarin. Maka saya sebagai putri Papua ingin untuk menekuni dan mempelajari bahasa Mandarin agar kelak saya bisa mengajar anak-anak Papua dan bahkan menjadi penerjemah untuk orang China (Tionghoa) yang akan berwisata ke Papua.
Suara Papua: Belajar bahasa Mandarin itu butuh keahlian khusus. Keahlin untuk mengucapkan kata-kata. Dan itu dilakukan dengan semacan senam. Dan itu adalah senam lidah. Kalau benar, bagaimana kamu melakukannya?
Asnath: Iya benar. Dalam belajar bahasa Mandarin ada yang namanya senam lidah dan saya mempelajari senam lidah selama dua bulan, meskipun agak sedikit sulit karena ada posisi pada saat lidah kita dilipat ke atas dan ngomong. Ada juga posisi lidah kita dilipat ke bawah lalu ngomong dan saya sedikit kesulitan karena tidak biasa berbicara dengan kondisi lidah seperti itu, tetapi lama kelamaan saya belajar terus menerus dan akhirnya saya bisa mengikuti senam lidah dalam pengucapan hingga selesai dan saya pun bisa.
Suara Papua: Apa hal tersulit yang kamu rasakan saat belajar Bahasa Mandarin? Dan bagaimana kamu mengatasi kesulitan itu?
Asnath: Di awal-awal saya sangat sulit untuk menyesuaikan dan mengikuti dalam kegiatan belajar mengajar karena dosen yang mengajar adalah dosen netif. Dosen tersebut tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia jadi selama kegiatan belajar mengajar saya berada di dalam kelas mendengar penjelasannya, tetapi saya tidak mengerti apa-apa. Karena full menggunakan bahasa Mandarin baik mata kuliah Speaking, Reading, Writing dan listening.
Cara saya mengatasi kesulitan itu dengan manfaatkan jam istirahat sebaik mungkin. Jadi, ketika jam istirahat saya gunakan untuk bertanya kepada teman-teman kelas tentang apa yang tadi dijelaskan oleh dosen. Meskipun ada beberapa teman yang membantu menjelaskan kepada saya, namun saya merasa tidak cukup jika hanya dengan waktu 30 menit menjelaskan materi kuliah. Oleh sebab itu, kadang sehabis pulang kuliah saya langsung pulang ke asrama dan saya tidak langsung makan dan tidur siang, tetapi saya langsung buka tas saya dan ambil buku yang tadi saya belajar di kelas lalu saya belajar sendiri dengan cara belajar menulis tulisan hanzi (Kanji Mandarin) dan belajar membaca, belajar mendengar dari lagu Mandarin.
Terkadang waktu dimana saya harus refreshing ataupun tenangkan otak sejenak, saya tidak menggunakan waktu itu untuk istirahat ataupun refreshing dengan teman-teman. Tetapi saya selalu menolak tawaran untuk refreshing atau pun berlibur ke luar kota karena saya beranggapan bahwa kalau saya pergi refreshing atau pun berlibur ke luar kota, maka waktu belajar saya akan berkurang dan saya akan ketinggalan dalam belajar. Jadi, selama tiga tahun masa kuliah saya tidak pernah jalan-jalan, atau pun berlibur keluar. Orang lain bisa merasakan suasana libur ataupun weekend dengan senang, tetapi saya selalu berada di dalam asrama dengan kegiatan sehari-hari saya yaitu Belajar bahasa Mandarin (speaking, listening, writting, dan reading) kadang saya merasa capek karena tangan saya sakit akibat menulis Hanzi yang sangat banyak dan saya mengulangi tulisan tersebut terus-menerus. Terkadang saya tidak mengerti arti lagu Mandarin yang saya dengar, tetapi saya tidak pernah menyerah untuk terus belajar, belajar dan belajar. Lambat laun saya mengerti sedikit demi sedikit dari apa yang saya dengar saya bisa menulis tulisan Hanzi. Saya bisa membaca tulisan Hanzi dan akhirnya saya bisa berbicara menggunakan bahasa Mandarin.
Suara Papua: Setelah dengan susah payah melewati proses belajar yang sulit itu dan akhirnya kamu bisa bicara pakai bahasa Mandarin, bagaimana perasaan anda?
Asnath: Saya sangat senang dan berterimakasih kepada dosen saya yang sudah setia mau mengajarkan saya sampai saya bisa berbicara bahasa Mandarin.
Suara Papua: Kami dengar anda saat ini sedang mengajar bahasa Mandarin. Bagaimana itu bisa terjadi?
Asnath: Saat ini saya aktif mengajar bahasa Mandarin di empat sekolah yaitu: SD Tirta Marta BPK Penabur, Pondok Indah, SD Bunda Hati Kudus (BHK) Kota Wisata Cibubur, SD Bunda Hati Kudus (BHK) Grogol, dan SD Tarakanita 4 Rawamangun. Saya juga bergabung di salah satu yayasan yang bernama Yayasan Bintang Bercahaya (YBB).
Saya bisa mengajar di keempat sekolah tersebut itu bukan atas permohonan atau pengajuan saya. Karena saya sendiri tidak pernah untuk membuat CV dan mencari pekerjaan di Jakarta, tetapi justru orang mendengar tentang saya dan mereka mencari tahu nomor handphone saya dan mereka menghubungi saya untuk meminta agar saya mengajar di empat sekolah tersebut.
Suara Papua: Bagaimana tanggapan guru-guru dan siswa di empat sekolah yang kamu ajar saat ini di Jakarta. Bagaimana respon mereka terhadap kamu?
Asnath: Tanggapan guru-guru dan siswa di tempat saya mengajar yaitu, mereka sangat heran, bagaimana bisa orang Papua (hitam kulit keriting rambut) mampu berbicara bahasa Mandarin, apalagi sampai menjadi seorang guru. Karena yang akan mengajar di sekolah itu dan mengajar anak-anak yang hampir semua yang di sekolah itu adalah orang Chinese. Mereka juga heran karena mengetahui kalau saya masih sangat muda dengan usia 22 tahun dan belum menikah. Karena di keempat sekolah tersebut saya adalah guru yang paling termuda dan mempunyai ciri khas warna kulit yang berbeda dari guru-guru dan siswa di sekolah.
Suara Papua: Apakah kamu betah di Jakarta? Atau ingin pulang ke Papua. Dan kalau akan pulang ke Papua, apa yang hendak kamu bikin untuk dan di Papua?
Asnath: Sampai saat ini saya sangat tidak betah di Jakarta karena kehidupan di Jakarta yang sangat ramai dengan kendaraan, sehingga tiap hari selalu macet dan banyak menghabiskan waktu hanya di perjalanan, sehingga saya sudah sangat rindu untuk cepat-cepat balik ke Papua. Mimpi saya ke depan, di Papua ingin menjadi seorang History Maker dalam dunia pendidikan dan bisnis dalam bahasa Mandarin. Agar orang asli Papua tidak dikatakan tertinggal lagi, tetapi orang asli Papua-lah yang akan menjadi pemimpin untuk mengajar orang lain dalam segala bidang.
Suara Papua: Terima kasih.
REDAKSI
surapapua.com
Komentar