Selamat datang di Kota Wamena (Foto:Keken/detikTravel) |
Pesawat yang kami tumpangi bergoncang keras karena terbang menukik melintasi pegunungan. Situasi makin seru dan mendebarkan hingga pesawat berhasil menerobos gumpalan awan. Serunya lagi, di depan sana Wamena mulai terlihat.
Belum ada kendaraan darat yang bisa menjangkau Kota Wamena, terkait kendala infrastruktur jalan. Solusinya adalah perjalanan melalui udara dengan menaiki beberapa maskapai penerbangan yang tersedia melalui Kota Sentani, Jayapura. Waktu tempuhnya tidak terlalu lama, hanya 30 menit saja.
Dari pesawat, Kota Wamena terlihat sangat luas dan sebagian besar wilayahnya masih tertutup hutan lebat serta aliran sungai. Ketika turun, saya mendapati Kota Wamena tidak jauh berbeda dengan Timika. Bangunan perumahan telah berbaris rapat di sekitar bandara. Hotel dan rumah makan pun memperlihatkan kepada saya betapa kota ini mulai berkembang.
Karena sulitnya akses menuju tempat ini, tidak heran jika harga barang-barang pun jauh melonjak. ketika saya merasa haus dan pergi ke salah satu warung untuk membeli air kemasan, saya kaget dengan harga yang ditetapkan sang penjual. Bayangkan, untuk air minum kemasan berukuran 300 ml dihargai Rp 10.000 rupiah. Mahal bukan main!
Setelah mempersiapkan perbekalan di rumah salah seorang teman, saya melanjutkan perjalanan menuju Kampung Obia di pedalaman Wamena menggunakan mobil bak terbuka. Suasana pun berubah dari hiruk pikuk kota kecil menjadi lengang, sepi dari perumahan dan kendaraan.
Melalui jalan trans Jayawijaya, saya menemukan sebuah dunia yang sangat berbeda. Jika Anda pernah melihat film-film tentang alam Afrika, maka pemandangan seperti itulah yang saya dapati disini.
Savana dengan alang-alang lebat dan kolam alam berada di sebelah kanan beradu dengan bukit-bukit batu berpasir di sebelah kirinya. Sebagai latar belakang semua keindahan ini, langit warna abu-abu dan deretan Pegunungan Jayawijaya memainkan perannya dengan sangat sempurna.
Sepanjang perjalanan saya menjumpai beberapa wanita dan anak-anak yang berjalan kaki. Para mama ini tidak memakai alas kaki dan di kepalanya bersandar noken warna warni berisi umbi-umbian.
"Mereka itu biasanya habis berdagang ke pasar Jibama di kota. Kalau ada angkot mereka naik, kalo tidak ada ya jalan kaki sudah biasa," ujar Pak Sakeus, seorang teman yang menjadi pemandu kami hari itu.
Di balik segala keindahan itu, saya heran karena tiang listrik yang saya temui di pinggiran jalan sangat sedikit. Terlihat sekali listrik merupakan barang langka di sana. Menurut Pak Sakeus, salah satu pemandu lokal kami, sebagian besar masyarakat di sana masih mengandalkan solar cell dari pemerintah atau menggunakan generator listrik. Bagi saya, ini adalah satu hal yang perlu mendapat perhatian.
Saya tertegun, takjub dan tidak berhenti bersyukur dapat menyaksikan langsung ciptaan Tuhan yang berada di Lembah Baliem itu. Angin sore pun berhembus hangat membuat saya mengantuk sebelum sampai di Kampung Obia. Terimakasih Wamena!
Perbukitan yang menagari kota Wamena (foto:Keken/detikTravel) |
Jalan yang kami lalu ketika berangkat dari kota Wamena menuju perkampungan (Foto:Keken/detikTravel) |
Kehidupan masyarakat Wamena yang bergantung pada Alam dan Lingkungan (Foto:Keken/detikTravel) |
Pegunungan Jayawijaya menjadi latar belakangan Wamena |
Komentar