Kota Wamena, Papua |
Petikan informasi tersebut adalah sebagai berikut :
”Pada tahun 1959 pemerintah Belanda memasuki lembah Balim melalui lapangan terbang di Hitigima dan membuka pusatnya di Wesaput (muara kali Wesak= Wesagaput=Wesaput) dengan kepala Pemerintahan Belanda yang pertama (kontrolir) adalah Tn. Velkamp. Tugas pertamanya adalah membangun Lapangan terbang dekat kali Uwe (Uweima). Mengenai asal-usul dan arti dari nama ”Wamena” ada beberapa pendapat, ada yang mengatakan bahwa nama sebenarnya Uweima (dari nama kali Uwe + i + ma = dipinggir kali Uwe), yang kemudian oleh para pendatang diucapkan salah menjadi Wamena.
Pendapat itu belum tentu benar karena dalam peta yang dibuat oleh ekspedisi Archbol (1938) kali Uwe juga disebut Wamena.
Sementara dalam versi yang lain nama ”Wamena” oleh A. Akua menjelaskan dalam bukunya ) bahwa orang Wio (nama yang umum digunakan untuk daerah lembah balim) sendiri tidak mengenal suatu tempat dengan nama Wamena dan bahwa nama itu diberikan pada tahun 1957-1958 oleh Pendeta Jerry Rose yang tinggal dekat lapanan terbang sebagai pengurus barang milik CAMA. Pada suatu hari ia melihat mama kandung Kain Wenehule Hubi, Toarekhe Itlay menetekkan anak babinya sambil berkata ”yi wam ena oo...” (ini babi piara), oleh karena itu ia menyebut tempat itu ”Wamena”
Penjelasan di atas ini kurang meyakinkan penulis buku ini dengan alasan sebagi berikut : menurut catatan dalam arsip Gereja Katolik, pihak CAMA ( Pendeta Rose ) mulai berdomisili di Wamena pada bulan Septermber 1960 dan tidak pada tahun 1957-1958, kemudian benarkah bahwa ibu-ibu Balim menyusui anak babi kesayangan mereka seperti seorang bayi? Tentulah hal ini tidak benar. Cerita itu memberikan gambaran keliru kepada orang-orang luar mengenai orang Balim, lagi pula nama Wamena tidak baru muncul pertama kalinya pada tahun 1957-1958. Nama itu sudah disebut dalam Ekspedisi Archbold pada tahun 1938 sebagai nama alternatif untuk kali Uwe.
Dalam lanjutan suratnya sebagaimana disebutkan di atas, Frits Veldkamp menyampaikan bahwa dalam ekspedisi Archbold pada tanggal 26 Agustus 1938 rombongan menyeberangi sebuah kali kecil di lereng gunung Trikora pada ketinggian 3.150 meter, yang bernama ”Wamena”. Masyarakat Walesi membenarkan adanya kali kecil itu tetapi namanya bukan Wamena melainkan ” Wamela”.
Rupanya anggota ekspedisi itu salah mendengar dan mencatat ”Wamena”. Kali kecil itu mengalir menuju kali Balim melalui kali Uwe. Karena kekeliruan itu, ekspedisi Archbold memberikan dua nama kepada kali yang sama yitu Uwe dan Wamena ( kali yang mengalir dari welesi ke kali Balim disebut kali Uwe dan kali Wamena ) pada peta buatan ekspedisi Archbold yang diterbitkan pada bulan Mei 1939. Oleh karena itu Pemerintah Belanda sejak awal kedatangannya memakai nama ”Wamena” untuk Pos mereka di lembah Balim, yang mana diambil dari nama kali Wamena/Uwe.
Dari hasil wawancara terhadap 24 responden pada Saresehan hari jadi kota Wamena bulan Nopember 1996 sebagian besar menyatakan tidak mengetahui dari mana nama Wamena itu diambil untuk dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Jayawijaya, sedang empat orang saja yang menyatakan mengetahui tentang asal-usul nama Wamena. Menurut empat orang ini mengisahkan bahwa nama Wamena diambil dari dialog antar Fritz Velkamp dengan pembantunya yang sedang mengurus ternak di kandang. Fritz Velkamp bertanya : Sedang apa? Jawab pembantunya ”An Wam Ena” dari percakapan ini kemudian F.Velkamp mempublikasikan nama tempat ini Wamena.
Dari beberapa sumber, informasi di atas menunjukkan bahwa kata Wamena telah ada sejak dahulu dan digunakan hingga saat sekarang ini dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat di Lembah Balim, yang kemudian diabadikan sebagai ibu kota Kabupaten Jayawijaya.
Setelah kedatangan Drs. Frits Veldkamp yang membawa misi Pemerintahan pada tanggal 10 Desember 1956 maka berangsur-angsur daerah Lembah Balim / Wamena mulai dikenal baik ditingkat Pemerintah Belanda sendiri maupun kalangan misionaris, dan tak ketinggalan misionaris Katolik yang menetapkan hari pertamanya dilembah Balim tanggal 5 Februari 1958 Gereja Katolik masuk di daerah Wamena.
Dengan kehadiran Pemerintah dan para misionaris tersebut, maka dalam kurun waktu tahun 1954 sampai dengan tahun 1960, semua masyarakat di Lembah Balim/Dani mulai mengadakan hubungan dengan dunia luar, yang mengakibatkan perubahan hidup dari tradisional ke perubahan yang radikal dalam struktur sosial, kegiatan sehari-hari dan dalam wawasan kebangsaan maupun identitas orang Dani. Puncak pergumulan orang Dani adalah tanggal 1 Mei 1963 secara resmi Irian Barat kembali ke pangkuan Republik Indonesia, dan mulai saat itu pelayanan penyelenggaraan pemerintahan telah beralih dari Hindia Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Komentar