Tak bisa dipungkiri, Persipura adalah salah satu klub terbaik di Tanah Air saat ini, dan hampir mendominasi kompetisi profesional Indonesia dalam satu dekade terakhir. Tapi bagaimana perjalanan mereka sejak berdiri hingga berkembang seperti saat ini? Renalto Setiawan menceritakannya...

rang telah tau, semua pun tau di lapangan hijau
Kini telah muncul di ufuk timur, mutiara hitam
Timo Kapisa, Johanis Auri, dan kawan-kawannya…
bermain gemilang, menerjang lawan dan selalu menang
Persipura, mutiara hitam…
Persipura, selalu gemilang

Bait di atas merupakan bagian dari lirik lagu yang berjudul Persipura. Sebuah lagu yang diciptakan oleh mendiang Hengky Sumantri Miratoneng, pentolan band Black Brother, salah satu band terbaik asal Papua, pada tahun 70-an. Lagu itu diciptakan dengan satu tujuan: memperkenalkan Persipura hingga ke seluruh pelosok Indonesia.

Sekitar satu dekade sebelumnya, tepatnya pada awal tahun 60-an, PSKS (Persatuan Sepakbola Kotabaru dan Sekitarnya), klub yang diduga kuat menjadi cikal bakal Persipura, melakukan kunjungan ke Pulau Jawa untuk memperkenalkan diri. Albert Mandosir, pelatih PSKS pada saat itu, mengatakan, “Maksud kami datang ke Jakarta dan kota-kota lainnya (di Jawa) bukan untuk mencari kemenangan, tetapi untuk memperkenalkan diri dan belajar teknik sepakbola dari saudara-saudara kami yang begitu lama terpisah.”

Setelah itu, sekitar 47 tahun setelah lagu Persipura diciptakan, atau sekitar 57 tahun setelah PSKS melakukan kunjungan pertama mereka ke Pulau Jawa, Persipura tak perlu repot-repot mencari pengakuan. Saat ini, jika bukan yang terbesar, Persipura merupakan salah satu klub terbesar di tanah air

Talenta-talenta pemain yang mereka miliki, yang mungkin banyak ditemukan melalui permainan patah kaleng, permainan sepakbola jalanan khas Papua, nyaris tak pernah habis. Selain secara terus menerus membantu Persipura berprestasi, mereka juga silih berganti mengenakan seragam timnas senior, sebuah seragam yang begitu diidam-idamkan oleh hampir semua pesepakbola di tanah air.
Sekitar 57 tahun setelah PSKS melakukan kunjungan pertama mereka ke Pulau Jawa, Persipura tak perlu repot-repot mencari pengakuan. Saat ini, jika bukan yang terbesar, Persipura merupakan salah satu klub terbesar di tanah air.
Goyangan samba warisan HB Samsi, salah satu tokoh yang mendidik anak-anak Papua bermain sepakbola, saat ini semakin kental dengan gaya permainan Persipura. Gaya permainan itu, selain membuat mereka berbeda dari tim-tim lain, juga membuat mereka sulit sekali untuk dikalahkan.

Secara singkat, layaknya proklamator handal, Persipura mulai mahir berbicara melalui sepakbola untuk menyihir banyak orang.

Dengan pendekatan seperti itu, dalam sejarah panjang kompetisi liga tertinggi Indonesia, Persipura berhasil menjadi juara empat kali, satu kali menjadi juara Liga Indonesia musim 2004/05 dan tiga kali menjadi juara Indonesia Super League (ISL) pada musim 2008/09, 2010/11, dan pada tahun 2013. Dan terakhir, mereka juga berhasil menjadi yang terbaik di Indonesia Soccer Championship (ISC) A yang baru berakhir beberapa waktu lalu.

Kini, Persipura telah menjelma menjadi salah satu kekuatan utama di sepakbola nasional

Peran besar HB Samsi dan Acub Zaenal

Pada tahun 60-an, HB Samsi hanyalah seorang guru di STM (Sekolah Teknik Negeri) Jayapura. Namun saat mengetahui murid-muridnya, seperti Hengki Heipon, Tinus Heipon, Bob Sapai, hingga Gento Rudolf Rumbino, mempunyai bakat hebat untuk bermain sepakbola, dengan modal kecintaannya terhadap sepakbola, guru asal Jawa Tengah tersebut gatal untuk melatih mereka bermain bola. Gaya melatihnya pun tak main-main, berkiblat pada gaya permainan samba Brasil yang saat itu sedang berada di titik tertinggi persepakbolaan dunia.

Bagi anak-anak Papua, gaya permainan seperti itu memang tak sulit untuk dipelajari. Pada dasarnya, anak-anak Papua memang senang bermain individu, yang terus mereka asah melalui permainan patah kaleng, di mana seorang pemain terbiasa melewati empat hingga lima pemain lawan. Untuk menyempurnakannya, mereka hanya perlu menambahkan umpan-umpan pendek dan permainan sayap seperti apa yang diajarkan oleh HB Samsi.

Setelah itu, HB Samsi kemudian ditunjuk untuk melatih Persikobar (Persatuan Sepakbola Kota Baru) – Persikobar sendiri merupakan evolusi dari PSKS. Selain mengandalkan murid-muridnya, dia juga mendapatkan tambahan pemain bagus yang berdomisili di sekitar Kotabaru, sebutan untuk Jayapura pada waktu itu. Konon, pada tahun 1965, nama Persikobar kemudian berubah menjadi Persipura, dan banyak pemain-pemain bagus dari luar Kotabaru, seperti Johanis Auri, Timo Kapisa, hingga Dominggus Waweyai bergabung ke dalam tim.

Carolino Ivakdalam, salah satu jebolan PPLP Papua, bersama mendiang HB Samsi pada tahun 2015 lalu. Foto: Tabloid Jubi/Facebook Carolino Ivakdalam
Jika HB Samsi berperan besar sebagai pondasi awal sepakbola Papua, Acub Zaenal, Gubernur ketiga Papua (1973-1975), berhasil mengarahkan sepakbola Papua ke jalan yang benar. Sebagai gubernur, meski dia tidak berasal dari Papua, Acub begitu mencintai Papua. Suatu waktu dia pernah mengatakan, “Saya selalu membayangkan anak-anak kulit hitam (Papua) berlarian memegang bendera Merah Putih seperti orang kulit hitam di Amerika Serikat.”

Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, Acub terlebih dahulu ingin anak-anak Papua mampu berprestasi melalui olah raga, terutama melalui sepakbola. Selain memugar Stadion Mandala, stadion kebanggaan warga Papua, dia juga menjalankan kompetisi antar sekolah dasar di Papua. Selain itu, dia juga menggagas kompetisi antar-kabupaten di Papua.
Saya selalu membayangkan anak-anak kulit hitam (Papua) berlarian memegang bendera Merah Putih seperti orang kulit hitam di Amerika Serikat
- Acub Zaena
Melalui kompetisi-kompetisi yang digagas Acub, anak-anak Papua mampu menyalurkan bakat sepakbolanya, dan Persipura tak kesulitan untuk mengumpulkan pemain-pemain bagus di dalam timnya.

Dengan pendekatan seperti itu, secara perlahan Persipura berhasil menunjukkan kehebatannya. Meski belum juga berprestasi di kompetisi perserikatan, pada tahun 1976 Persipura berhasil mengagetkan banyak orang ketika berhasil mengalahkan Persija Jakarta, salah satu kekuatan tradisional dalam sepakbola Indonesia, dalam pertandingan final Piala Presiden Soeharto ketiga di Senayan, Jakarta.

Sebelum pertandingan final yang menegangkan itu, Acub, yang saat itu sudah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Papua, melalui Hengki Haipon, kapten Persipura pada saat itu, mengirim surat untuk para pemain Persipura. Kalimat terkahir dalam surat itu berbunyi seperti ini: “Sampaikan pertanyaan saya kepada seluruh pemain Persipura sebelum meninggalkan asrama menuju lapangan. Siapa yang akan menang, Persipura atau Persija? Jawablah yang keras.” Persipura kemudian menang 4-3.

Memaksimalkan Potensi Pemain Lokal


Saat kekuatan Persipura mulai banyak diakui di kancah sepakbola Indonesia, HB Samsi ternyata masih belum puas. Dia ingin Persipura lebih dari itu. Dan berdasarkan keinginannya tersebut, PPLP Papua didirikan pada tahun 1986. Kemudian, bersama Hengki Rumere, HB Samsi menjadi pelatih generasi pertama PPLP Papua. Pemain-pemain seperti Ronny Wabia, Aples Tecuari, Leo Yarangga, hingga Johanes Bonay tak lepas dari didikannya.

Pemain-pemain generasi pertama PPLP Papua tersebut kemudian menjadi fondasi utama tim PON Papua pada tahun 1993. Hebatnya, tim yang dikenal sebagai generasi emas tersebut kemudian berhasil menyabet medali emas.
Saat kekuatan Persipura mulai banyak diakui di kancah sepakbola Indonesia, HB Samsi ternyata masih belum puas. Dia ingin Persipura lebih dari itu. Dan berdasarkan keinginannya tersebut, PPLP Papua didirikan pada tahun 1986
Dengan prestasinya itu, sebagian besar pemain dari tim PON Papua 1993 kemudian bergabung dengan Persipura. Saat itu, Persipura mengalami degradasi ke divisi satu. Namun tak memerlukan waktu lama, mereka kembali lagi ke divisi utama setelah mengalahkan Persiku Kudus di pertandingan final divisi satu.

Menariknya, apa yang dilakukan Persipura pada waktu itu terus bertahan hingga sekarang: Persipura terus mengandalkan pemain-pemain lokal untuk menjadi fondasi utama timnya. Papua merupakan gudangnya pemain-pemain berbakat. Seperti anak burung yang belajar terbang, mereka hanya memerlukan sedikit polesan untuk menjadi pemain hebat. Jika Johanis Auri menjadi ikon pada tahun 70-an, Ronny Wabia menjadi ikon pada awal tahun 90-an, Eduardo Ivakdalam menjadi ikon pada akhir tahun 90-an hingga akhir tahun 2000-an, lalu Boaz Solossa menjadi ikon Persipura sampai saat ini. Semua pemain tersebut merupakan pemain hebat yang berasal dari tanah Papua.

Meski demikian, pada tahun 2006 lalu, setelah menjadi juara Liga Indonesia musim 2004/2005, Persipura sempat kecolongan. Selain ditinggal pergi oleh Rahmad Darmawan, pelatih mereka, banyak pemain asal Papua pergi ke klub lain karena tawaran yang menggiurkan. Alhasil, kekuatan Persipura mengalami penurunan drastis. Mereka hanya mampu finis di papan tengah satu musim setelah menjadi juara, dan mereka memerlukan waktu yang relatif lama untuk kembali menjadi yang terbaik di tanah air.
Jika Johanis Auri menjadi ikon pada tahun 70-an, Ronny Wabia menjadi ikon pada awal tahun 90-an, Eduardo Ivakdalam menjadi ikon pada akhir tahun 90-an hingga akhir tahun 2000-an, lalu Boaz Solossa menjadi ikon Persipura sampai saat ini. Semua pemain tersebut merupakan pemain hebat yang berasal dari tanah Papua
Dalam masa perbaikan tersebut, Persipura kemudian terus melakukan pembinaan pemain lokal secara intens. Demi masa depan yang lebih baik, pencarian bakat semakin digalakkan. Hasilnya, berbarengan dengan datangnya Jacksen F. Tiago, Persipura berhasil menjadi tim yang lebih hebat daripada sebelumnya.

Pada saat itu, Emanuel Wanggai, Ian Kabes, dan Gerald Pangkali, pemain-pemain hasil binaan Persipura, sudah berada dalam kondisi siap tempur. Bersama Boaz Solossa, Eduard Ivakdalam, dan Ricardo Salampessy, mereka kemudian menjadi tulang punggung tim. Dan Jacksen Tiago tahu betul bagaimana caranya mengeluarkan potensi terbaik yang mereka miliki.

Jacksen F Tiago berhasil membuat Persipura mendominasi ISL dan mengejutkan Asia
“Sepakbola sudah seperti agama kedua di Papua. Dengan mudahnya kita bisa menemui orang bermain sepakbola di sini. Talenta-talenta pesepakbola berbakat tak pernah kering. Sama seperti di negara saya (Brasil),” begitu kata Jacksen Tiago, mengenai para pemain berbakat yang dimilikinya.

Jacksen kemudian terus mengandalkan pemain-pemain lokal di dalam timnya. Pemain-pemain asing atau pemain dari luar daerah hanya digunakan untuk melengkapi kekurangan tim. Dan saat pemain-pemain lokal Papua tersebut dilirik oleh tim lainnya, Jacksen berusaha mati-matian untuk memagarinya. Selain itu, Jacksen juga menginginkan Persipura bermain dengan sepakbola indah, seperti apa yang sudah ditanamkan oleh HB Samsi. Hasilnya ajaib: tidak hanya menjadi yang terbaik di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir, Persipura juga berhasil menjadi kekuatan baru di kancah sepakbola Asia Tenggara.

Kini, di tangah Afredo Vera, melalui kekuatan pemain-pemain lokalnya, Persipura sudah bersiap kembali untuk semakin mengukuhkan dominasinya. Gelar juara ISC A yang diraih Persipura beberapa waktu lalu adalah sinyal bahaya bagi siapa pun yang menganggap remeh kekuatan yang dimiliki oleh Persipura. (fft)