Wisudawan berpose bersama Ketua Program Studi MMP Uncen, Dr. Leonard Sagisolo, M.Pd (Foto: Ist). |
Betapa tidak, putra asal Lembah Baliem, Jayawijaya, ini nekat menyekolahkan 13 putra Pegunungan Tengah di Universitas Cenderawasih (Uncen) pada program Magister Manajemen Pendidikan (MMP) hingga wisuda di periode III, Kamis (26/11/2015) lalu.
Bertus Asso termasuk juga diwisuda bersama teman-temannya yang ia biayai.
Mereka adalah Apius Aud, John Asso, Pilep Asso (Kabupaten Jayawijaya), Andinus Yanengga, Barton Wenda (Lanny Jaya), Yuterlus Keduman (Pegunungan Bintang), Patris Mabel, Wenus Welson Siep, Deni Siep, Elvis Siep (Yahukimo), Galvin Kepno, dan Eddy Helakombo (Yalimo).
Bertus Asso sehari-harinya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Jayawijaya. Sebelumnya, ia staf di Dinas Pariwisata Jayawijaya, dan pada 2012 dilantik sebagai Kepala Distrik Itlay-Hisage.
Ia menjadi kepala distrik selama 14 bulan sambil mengajar di salah satu SD di tempat tugasnya dan berkuliah di STKIP Kristen Wamena.
Kini, ia anggota DPRD Jayawijaya periode 2014-2019 yang dilantik awal 2015 atau jelang akhir masa perkuliahan pascasarjananya di Uncen.
Bertus kepada suarapapua.com menceritakan rencana kuliah di Uncen, berawal tahun 2013 usai wisuda sarjana di STKIP Kristen Wamena. Ia ingin melanjutkan studi lagi di Uncen, mengambil program pascasarjana MMP. Niat itu diceritakan ke rekan-rekannya.
Dari 52 orang, 13 yang menyetujui lanjutkan pendidikan bersamanya meski mereka kuatir soal biaya kuliah, makan minum hingga tempat tinggal di Jayapura.
Tetapi Bertus nekat berkomitmen untuk membiayai kuliah rekan-rekannya itu demi motivasi suatu kelak memajukan pendidikan di kawasan Pegunungan Tengah.
Akhirnya, niat itu terwujud. Setelah wisuda di STKIP-KW, mereka berangkat ke Jayapura dan mendaftar di program MMP Uncen dengan biaya awal Rp50 juta bagi 13 orang sekaligus.
“Ketika saya tawarkan niat saya, mereka menyetujui untuk kuliah S-2, akhirnya kami ke Jayapura. 13 orang itu tidak semua dari Kabupaten Jayawijaya, ada yang dari Yahukimo, Tolikara, Lanny Jaya, Yalimo, dan Pegunungan Bintang. Waktu itu saya berkomitmen tanpa melihat kekuatan biaya saya,” ujar Bertus ketika ditemui di Wamena, Jumat (28/11/2015).
Soal biaya, ia sempat disoroti oleh pihak manajemen dan pengajar di STKIP-KW yang berasal dari Belanda dan Australia.
“Mereka bilang biaya dari mana Bertus akan membiayai 13 orang ini?” tanya mereka yang ditirukan Bertus Asso.
“Ya, saya tidak tahu, tetapi saya hanya berkomitmen, pasti Tuhan buka jalan dan ternyata itu benar terjadi,” imbuhnya.
Seluruh biaya kuliah hingga selesai ditanggung Bertus, termasuk biaya tempat tinggal atau kontrakan rekan-rekan seperjuangannya itu.
“Biaya satu semester untuk per-orang Rp10 juta dikalikan 13 anak itu dan saya selesaikan biaya beban studi mereka, juga kontrakan. Saya juga bangun hubungan dengan bapak-bapak pejabat di Jayapura dan Pemda Jayawijaya, sehingga mereka turut membantu saya,” jelasnya.
Bertus mengakui, semua ini bisa dilalui karena komitmen yang kuat. Jika komitmen itu ada pasti Tuhan akan buka jalan, karena apa yang menjadi komitmennya adalah bagian dari pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).
Ia tegaskan, tak ada motivasi terselubung di belakang semua dorongan untuk membiayai 13 orang ini. Hanya saja, semua ini berawal dari kepeduliannya terhadap dunia pendidikan.
“Saya sendiri pernah buat kurikulum konteks lokal, tetapi barang itu tidak pernah diloloskan, jadi saya ambil mereka supaya setelah selesai masuk di kantor-kantor pendidikan untuk merancang pendidikan dengan konteks daerah.”
“Seperti ada contoh, Yuterlus Keduman dari Pegunungan Bintang, dia diambil sekolah agar bukan hanya mengajar dan membeli kurikulum dari pusat Airlangga, tetapi bagaimana bisa buat kurikulum kontekstual daerahnya. Seperti huruf Q atau Kereta tidak berfungsi untuk kita di daerah ini, tetapi kita terus mengajar, lebih bagus mengajar sesuai konteks supaya dimengerti oleh siswa,” Bertus memberi contoh.
Itu sebabnya, kurikulum konteks lokal atau Papua sangat penting untuk dibuat. Bila perlu buat kurikulum untuk pelajaran muatan lokal kedaerahan.
“Saya berpikir ambil program MMP, karena dengan adanya manajemen kita bisa merancang pendidikan, terutama kurikulum. Kami ada 2 yang belum wisuda, nanti bulan Maret 2016 baru mereka wisuda.”
“Setelah itu kami akan buat pengucapan syukur di Wamena dan mengundang semua pemerintah di pegunungan dan secara resmi kami akan serahkan kepada mereka. Saya akan sampaikan, ini yang kami telah siapkan untuk setiap kabupaten, silakan kembangkan di daerah masing-masing,” ungkapnya.
Untuk selanjutnya, Bertus berpesan kepada saudara-saudara di pegunungan dan Papua, supaya tidak memunculkan banyak program, tetapi dengan sedikit biaya mendorong generasi untuk menimba ilmu. Jangan juga melihat dari latar belakang agama, asal kampung dan keluarga, sebab Papua tidak bisa dibangun hanya satu atau dua orang.
“Jangan hanya lewat lagu atau dengan kata-kata bilang ini saudara kita, tetapi tindakan nyata kita tidak ada. Mungkin saya pikir hal seperti ini baru pertama kali, walaupun kebutuhan keluarga saya ada.”
“Saya minta abang-abang senior di daerah ini bisa menirukan untuk anak-anak kita yang lain. Ini bagian dari investasi pendidikan bagi pegunungan dan Papua umumnya,” tutur Bertus Asso.
Sementara, Deni Siep, salah satu anak yang dibiayai Bertus Asso berterima kasih kepada Tuhan yang menghadirkan Bapak Bertus Asso di Papua, yang mana menyediakan SDM Papua dari lima kabupaten di Pegunungan Tengah Papua.
“Saya menganggap Bertus Asso adalah bapak inspirator, karena dia tidak membedakan suku dan latar belakang. Buktinya, dia tanggung biaya studi 13 orang di tingkat pascasarjana hingga selesai, bahkan kebutuhan rumah juga bisa ia fasilitasi,” demikian Deni Siep, melalui pesan singkat kepada suarapapua.com di Wamena. (ELISA SEKENYAP/suarappua.com)
Komentar
itu salah satu conto yg harus lakukan setiap pemerita yang ada di papua, saya salut yg di lakukan oleh bapak bertus asso
BalasHapushebat...
BalasHapus