Hendrik Gwijangge, Ketua LIDIK provinsi Papua. Jubi/Arnold Belau |
Gwijangge menjelaskan, negara melalui TNI/POLRI sebagai alat negara, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum yang diperoleh secara atributif melalui UUD 1945 pasal 30 ayat 4 UUD dan pasal 2 UU No. 2/2002 tentang POLRI.
“Tetapi pada prakteknya selama ini banyak anggota TNI/POLRI dalam melakukan tugas dan fungsinya bertolak belakang dan tidak sesuai dengan Protap. Karena banyak terjadi pelanggaran Ham baik itu kekerasan, pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan oleh negara melalui TNI/POLRI terhadap warga sipil Papua di Papua,” katanya kepada Jubi melalui surat elektronik yang dikirim kepada Jubi dari Wamena, Kamis (12/3/2015).
Katanya, berdasarkan pengalaman-pengalaman masa lalu dan pendekatan tindakan-tindakan arogansi militeristik yang sampai saat ini masih sering dilakukan oleh TNI/POLRI. Maka dengan alasan tersebut masyarakat menolak kehadiran mako brimob karena akan membuat warga semakin takut dan trauma.
“Kami dari LDIK melihat bahwa telah terjadi perubahan paradigma yang luar biasa di kalangan orang asli Papua terhadap fungsi dan tugas TNI/POLRI bukan lagi sebagai Alat kelengkapan Negara yang dapat melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sebagai warga negaranya. Tetapi masyarakat papua melihat kehadiran TNI/POLRI itu sebagai sesuatu yang dapat mengancam keberlangsungan hidupnya dalam memberikan rasa aman, dan nyaman tersebut,” jelasnya.
Makah hal ini telah terjadi pandangan buruk dari orang asli papua kepada negara indonesia yang memberlakukan orang papua bukan sebagai sesama warga negaranya melalui tindakan arogansi sejumlah anggota TNI/POLRI.
“Jadi kami dari Lidik melihat persoalannya bukan lagi masalah layak atau tidaknya syarat pendirian mako brimob di Wamena tetapi ini mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat papua terhadap kehadiran TNI/POLRI dalam hal ini kehadiran Brimob,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan, trauma orang Papua terutama mereka yang berada di wilayah pegunungan terhadap aparat keamanan begitu besar. Meski mereka bagian dari negara, namun tetap merasa takut dan tidak nyaman.
“Kini jumlah aparat keamanan di tanah Papua sudah sangat banyak dan itu membuat orang Papua merasa takut dan trauma. Apapun alasannya, ada masyarakat yang menolak dan tak setuju pembangunan Mako Brimob itu. Kami DPR Papua tetap tak setuju. Kami lebih melihat dampaknya kepada masyarakat,” kata Yunus. (Arnold Belau/Jubi)
Komentar