Penandatangan kesepakatan damai antara mahasiswa Papua dan masyarkat Tataaran yang dihadiri Gubernur Sulut dan Gubernur Papua (Sumber : http://humasprovinsisulut.blogspot.com/) |
Pertemuan penting yang dihadiri para petinggi birokrat Papua ini adalah upaya nyata pemerintah menyikapi perselisihan yang berlarut-larut antara mahasiswa Papua di Tataaran dengan masyarakat setempat. Perselisihan tersebut berawal pada pertengahan bulan Oktober tahun lalu (19/10), saat acara syukuran wisuda mahasiswa asal Papua UNIMA di Asrama Mahasiwa Papua di Tataaran Patar. Saat acara syukuran selesai pada dinihari, sejumlah mahasiswa Papua pulang dan terlibat cek-cok dengan warga setempat. Pemicunya karena mahasiswa tersebut dianggap menimbulkan keributan. Kedua belah pihak ditenggarai telah dipengaruhi minuman keras. Perkelahian lalu tak terhindarkan. Kedua belah pihak memanggil bantuan. Warga setempat berdatangan, begitu pula mahasiswa asal Papua yang berada di asrama ikut turun. Akibatnya sejumlah rumah, kendaraan bermotor di lokasi kejadian ikut dirusak.
Dalam bentrok tersebut kedua pihak mengalami kerugian, korban berjatuhan dari pihak mahasiswa Papua dan dari masyarakat Tataaran. Dari pihak mahasiswa Papua, Petius Tabuni (25) meninggal dunia. Berita pun tersebar, beberapa oknum menggunakan peristiwa tauran yang terjadi karena pengaruh minuman keras ini dengan isu SARA, bahkan ada yang mengaitkan bahwa peristiwa ini adalah usaha meng-genosida-kan orang asli Papua. Oleh sebab itu, peristiwa yang sebenarnya merupakan peristiwa tauran menjadi peristiwa dengan fakta yang kabur dan isu yang tidak jelas.
Para Pemimpin Daerah Turun Tangan Setelah 3 bulan peristiwa tauran antara mahasiswa Papua dan masyarakat setempat di Tataaran itu terjadi, akhirnya rekonsiliasi dan perdamaian pun terwujud. Masing-masing pemimpin daerah bertemu menandakan pentingnya rekonsiliasi tersebut. Dalam sambutannya, Lukas Enembe, Gubernur Papua, memberikan nasihatnya kepada mahasiswa Papua, khususnya yang sedang menuntut ilmu di Sulawesi Utara. Ia mengatakan bahwa antara Papua dan Minahasa sudah terjalin hubungan yang erat sejak lama. Dr. Samratulangi yang pernah mengajar di Papua adalah orang Minahasa, ia mengangkat harkat dan martabat orang Papua.
Selain itu, Lukas Enembe juga mengatakan agar para mahasiswa Papua untuk menghindari mabuk-mabukan dan menghormati norma-norma dan nilai-nilai budaya serta karakter dari orang Minahasa. Lukas Enembe meminta agar mahasiswa Papua harus dapat melakukan komunikasi dengan baik bersama warga di sekitar, sehingga jika ada permasalahan bisa diselesaikan dengan baik, bukan dengan cara kekerasan. “Belajar dan bergaul dengan siapa saja dan ciptakan konmunikasi yang baik dengan masyarakat di sini” kata Lukas Enembe. Acara rekonsiliasi perdamaian antara mahasiswa Papua dan masyarakat Tataaran ini diakhiri dengan acara adat “Bakar Batu” yang merupakan simbol perdamaian bagi orang Papua.
Mabuk-mabukan dan minuman keras merupakan masalah klasik mahasiswa Papua di perantauan, tidak hanya di Tataaran saja. Beberapa perselisihan yang melibatkan antara mahasiswa Papua dengan masyarakat setempat selalu diawali oleh minuman keras. Hal ini harus disadari oleh kita sebagai mahasiswa Papua. Selain itu, pemahaman terhadap budaya dan adat istiadat setempat juga penting, dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung, dimana kita, mahasiswa Papua menunutut ilmu, disitulah kita harus menghormati adat istiadat setempat. Papua begitu terkenal dengan keunikan kebudayaannya, bahkan sampai mancanegara, kita adalah orang yang menghargai budaya nenek moyang kita dan orang yang berbudaya adalah orang yang menghargai budaya orang lain.
Semoga masalah seperti ini tidak lagi terjadi. Kitong generasi muda Papua, mari jaga nama baik Papua. (kompasiana.com)
Komentar